Aku
tidak pernah menyalahkan keadaan ini. Justru sebaliknya, aku bahagia, karena
dengan kondisi seperti ini, aku bisa merasakan bagaimana hidup itu
sesunggugnya. Sesuap nasi itu bagaikan sebongkah emas. Butiran yang terlalu
berharga untuk tidak ku maknai. Aku melangkah dari sebuah kisah hidup penuh
warna. Meski hanya aku saja yang menyebutnya begitu. Aku yakin, dan sangat
yakin bahwa bagi kebanyakan orang ini
adalah kondisi yang memprihatinkan, sebuah garis hidup yang tidak layak untuk
bersandar pada kata syukran, potret
kehidupan yang menyalahkan tuhan, hari-hari yang penuh dengan ratapan dan
sejumlah anggapan memilukan lainnya.
Banyak
cara yang digunakan manusia untuk melakukan komparasi strata. Sebenarnya kemiskinan
itu tidak pernah ada. Dia kemudian muncul hanya karena ada istilah yang
mempunyai pengertian berlawanan. Begitupun sebaliknya, kaya itu juga tidak akan
ada tanpa adanya orang miskin. Harusnya mereka, para orang-orang kaya berterima
kasih kepada kami, elit-elit miskin yang bagi sebagian mereka tidak pantas
menghuni bumi, karena berkat kamilah mereka mendapatkan gelar sombong itu. Tak
apa, mereka mendendangkan kemenangan di atas seruling sumbang kami, juga tak
mengapa, mereka membisikkan kepada alam
bahwa keberadaan kami meresahkan. Kami tak peduli itu, yang kami tahu, dunia
ini milik bersama.
Manusia
begitu paham bahwa kehidupan itu selalu berputar. Kondisi yang paling
menakutkan adalah ketika berada pada titik yang kami tempati sekarang. Khawatir
jika kejamnya hidup benar-benar akan dirasakan dan cemas bahwa titik ini akan
mematikan. Disinilah letak kehebatan kami. Kami punya sejuta cara mencerdasi
titik ini. Kemiskinan itu menyedihkan, jika kita yang menganggapnya demikian. Ia
akan menjadi momok menakutkan, jika kita menganggapnya sebagai hantu kehidupan.
Dan inilah aku, aku yang mengolah kemiskinan menjadi sebuah kekayaan.
***
Syurgaku
adalah bagian dari Kota Jakarta. Di tempat inilah aku mengawali hidup sebagai
seorang manusia bersama bapak, ibu dan ketiga kakakku. Pagi ini aku kembali
menyalami mereka, seperti hari-hari
biasa. Meski dengan pakaian dan sepatu seadanya, aku tetap bersemangat
menjalani proses untuk menjadi manusia yang dipandang. Tekadku sudah bulat,
bahwa aku akan mengubah keadaan ini menjadi lebih baik. Aku memulai hari dengan
selalu memperbaharui niat, merebut peluang keberhasilan yang dulu sempat mereka
sia-siakan. Entah yang terbesit di dalam hati ini, sama dengan apa yang ada
dalam hati Aini, sahabatku. Saat aku
memperbaiki kerudung putihku yang posisinya sempat berganti, teriakan
Aini menyadarkanku untuk tidak berlama-lama lagi. Dia selalu datang lima belas
menit sebelum pelajaran dimulai.
“Yuk, kita berangkat.”
“Ayuk.” Sambutku sambil menyerahkan
tangan. Kami selalu bergandengan menuju sekolah. Jika ada ulangan, kami akan
bertanya jawab sepanjang perjalanan. Terkadang aku sengaja menanyakan
kemungkinan soal yang paling susah kepada Aini. Aku memanfaatkan hafalannya.
Tapi dia tidak pernah marah. Aku lebih cepat menyerap pelajaran yang ku dengar dari teman,
bukan dari guru. Saat dia menjawab pertanyaanku, maka dengan gesit aku akan
menyimpannya pada file-file di
otakku. Dari dulu aku selalu menyempurnakan hafalan dengan cara seperti itu.
Dan hasilnya tidak mengecewakan. Setiap tahun setidaknya aku masuk ke peringkat
lima besar di kelas.
‘Dokter’, aku tak pernah absen
mencamtumkan provesi itu sebagai cita-citaku.
Cita-cita yang dianggap pasaran dan impian yang terlalu naif bagi orang-orang
seperti kami. Tapi itu terserah, aku akan tetap berusaha meraihnya. Sederhana,
aku ingin mengobati ibu, agar tumor yang ada di ketiaknya bisa ku sembuhkan
tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Sehari-hari keluargaku berjibaku dengan
benda-benda kumuh, sampahnya orang kaya. Mereka membuangnya begitu saja, dan
kami yang akan memungutnya menjadi pengganjal perut. Jika ada yang masih bisa
digunakan, tak tertutup kemungkinan akan kami adopsi menjadi perlengkapan
hidup. Seperti sepatu yang melekat di kaki ku ini, ini adalah sepatu hasil
pulunganku beberapa waktu lalu. Bagian depannya yang selalu tersenyum ke
arahku, menyurutkan ego untuk memiliki
sepatu baru.
Selasa ini adalah giliranku yang
menemani ibu di rumah sakit. Aku menyenangi tempat ini. Karena disini aku bisa
melihat orang-orang rapi berbaju putih polos. Ahh, mereka benar-benar
menanyakan kegihihanku untuk menjadi seperti mereka. Tak banyak yang aku
bicarakan dengan ibu, hanya seputar menanyakan kondisi beliau saja, setelah itu
aku akan memijit beliau, meski ibu tak pernah memintaku untuk melakukannya. Ibu
lebih banyak diam, entah kenapa. Pertanyaanku yang harusnya dijawab panjang
lebar hanya dibalas dengan satu kata, ya atau tidak. Biasanya ibuku tak begini.
***
Aku
masih mematung, menatap susunan hollow brick dan batako yang diselingi dengan
semen itu. Petakan kecil ini adalah rumahku. Meski tak ada pembatas ruang,
bagiku ini tetap rumah, bukan kandang. Ruang tengah yang sedang dipenuhi
orang-orang letih ini multi fungsi, kami menggunakannya sebagai tempat makan,
tidur dan bersantai. Tak ada kamar tidur, kami tidur bersusun satu keluarga. Ini
adalah salah satu cara mencerdasi kemiskinan yang kami maksud. Spring bed dan kasur empuk bukan jaminan
untuk tidur bahagia, kasur tipis yang tak beralaspun sudah menjadi bagian dari
kenikmatan, karena kami memahaminya dengan cerdas, yang penting hidup,
pemahaman bagian dari kekayaan.
Bunyi jangkrik berhimpit dengan
lalu-lalang kendaraan. Sudah jam dua belas malam rupanya. Jakarta memang tak
pernah mati. Aku beralih. Memandangi manusia-manusia yang tengah menyelam di
laut mimpi. Di samping kiriku ada bapak, dengan dengkurannya yang memualkan.
Rambutnya mulai panjang tak terurus. Kumisnya kesana kemari. Keriput di
wajahnya menyiratkan bahwa setengah abad sudah ia menapaki bumi Allah. Tarikan
nafas kakak laki-lakiku saling berpacu dengan orang-orang di sebelahnya, ia
tidur di samping kananku, memunggung. Jaket cokelat mudanya tak pernah diganti,
bahkan sangat jarang lepas dari tubuhnya. Namun sesekali jaket itu sempat beristirahat,
digantung. Setelahnya, ada dua kakakku lagi yang memanjang, memenuhi ruang.
Aku mulai letih, mataku ingin
istirahat dari tugasnya. Ku lantunkan do’a pengantar tidur dalam hati. Sepuluh jemariku
meluncur dari kening hingga dagu, “aamiin”, lirihku. Selimut usang bergaris kotak-kotak orange ku
tarik, ku selimuti bapak. Besok akan ada ulangan matematika, aku sudah
mempersiapkan diri sebelumnya. Sudah belasan lembar kertas buram ku habisi, ku
hajar habis-habisan, agar rumus dan langkah sulit bisa menempel di otakku.
Pelajaran ini tidak begitu ku senangi, karena aku lebih cinta IPA, semuanya
alami. Perlahan, gambar jantung dan angka-angka membayang di mimpiku.
***
“Pak,
pak, apa-apaan ini?” tiba-tiba bapak mendengus seperti induk kerbau. Makin lama
makin merapat ke arahku.
“Pak, bapak mimpi?” aku mulai
khawatir.
“Tidak.” Cetus bapak pelan.
“Lalu kenapa bapak bertingkah
seperti ini?” desakku.
Bapak tidak menjawab. Wajah bapak
berubah sangar. Seram sekali. Seperti perampok yang sering ku lihat di tv-tv.
Tarikan nafasnya tak beraturan. Bapak lalu menarik tanganku seraya berbisik,
“Sudah, tidak apa-apa. Kau diam saja, ”
“Inikah
bisikan syeitan yang disampaikan lewat suara manusia?” Tanyaku dalam hati.
Menit-menit berlalu begitu berat.
Ini perlakuan aneh yang tak pernah ku terima dari siapapun. Ya, aku tau bapak
begitu menyayangiku, bahkan rasa sayang bapak ku rasakan begitu dalam jika
dibandingkan dengan rasa sayang yang diberikan oleh ibu dan kakak-kakakku. Tapi apakah perilaku ini yang merupakan
puncak dari kasih sayang seorang ayah? Ahh, entahlah. Aku tak mengerti. Bapak
terus melakukan tingkah yang membuat ku merasakan sakit yang teramat sangat.
Beliau begitu memaksa. Dalam diam aku menutup mata, air mataku mengalir menahan
sakit, bapak kian liar menjalar di tubuhku. Ada cicak belang, yang menangis
melihat perlakuan bejadnya.
Sepuluh tahun usiaku, di usia ini bapak
menorehkan tinta hitam yang tak akan pernah luntur di ingatanku. Nyaris tak
pernah ku bayangkan bahwa ayah kandungku sendiri tega melakukannya. Suara indah
yang pertama kali ku dengar adalah suara bapak, ketika beliau melafazkan
kalimat-kalimat Allah yang dulu dirangkai Bilal ke telingaku, saat aku baru
melihat dunia, aku begitu terpana kala itu. Berkali-kali aku memuji Allah dalam
hati kecilku. Nyatanya tak selamanya aku kagum akan keindahan suara bapak.
Betapa aku tidak menyangka, bahwa suara buruk pertama kali yang harus ku dengar
adalah suara yang datang dari mulut orang yang sama. Desahan-desahan iblis
mengaum di telingaku. Hatiku terus memohon pertolongan Allah dalam kondisi yang
mencekik masa depan ini.
***
“Kamu kenapa?” Aini membaca kalutku.
“Ah, aku... aku tidak apa-apa.”
“Kamu sakit ya? Wajah kamu pucat,
Raisa.”
“Aku
tidak sakit. Mungkin karena kurang tidur. Aku dan kakak-kakakku bergantian
menjaga ibu. Semalam kakakku tidak bisa, jadi aku yang menggantikannya.” Aku
berdalih.
“Ooh,
syukurlah.” Aini tersenyum, aku membalas senyumnya.
Perlakuan
bapak semalam masih membayang di ingatanku, bulu kudukku
merinding
mengingatnya. Tanganku terasa gemetar. Lututku menolak diajak berjalan. Aku tak siap menjalani hari dengan kekacauan
tak berperi. Sisa-sisa pemaksaan itu kian mencabik ulu hati. Pedihnya ke
ubun-ubun. Aku tidak bisa berjalan seperti biasa. Ku sembunyikan itu dengan
menggenggam erat tangan Aini. Sikapku yang tidak biasa membuatnya terkejut.
“Raisa, kamu kenapa? Bicaralah.”
“Kepalaku
sakit, Ai.” Terangku sambil memegang kepala, berat rasanya mengucapkan
kata-kata penuh dusta itu.
“Kalau begitu kamu istirahat saja di
rumah. Aku antar pulang ya?”
“Tidak,
Ai. Aku kuat kok. Hari ini kan kita ulangan. Aku juga sudah mempersiapkan diri
semalam. Usahaku jadi sia-sia kalau aku tidak ikut ulangan. Besok-besok aku
sudah pasti lupa.”
“Yakin kamu kuat?”
“Insyaallah.” Aini memapahku.
Perjalanan menuju sekolah terasa sangat jauh. Hatiku tak
henti mengerang. Tiap kali aku melangkah, maka pada kali itulah aku meraung.
Dari semalam aku tak berani buang air kecil, takut kalau-kalau yang keluar
adalah darah. Aku tak tau harus bertanya kepada siapa tentang cara mengobati
rasa sakit ini. Aku ingin cepat-cepat menjadi dokter saja rasanya, agar sebelum
mengobati ibu, aku bisa mengobati diriku sendiri. Proses ulangan matematikaku
hancur. Aku tak lagi ingat rumus dan langkah-langkah menjawab soal yang telah
ku hajar semalam, malah soal ini yang balik menghajarku. Lembar jawabanku hanya
diisi beberapa baris saja, itupun belum tentu benar. Aku terus menggali otak,
membujuknya untuk kembali bekerja sama. Tapi perih ini lagi-lagi menggangguku,
mendenyut seiring denyut nadiku. Ibu, tolong aku.
***
Rumah pagi ini sepi. Aku baru
selesai mandi. Kamar mandi seadanya. Mandi harus membungkuk sedikit agar tidak
kelihatan.Baru pukul setengah tujuh, aku segera menggunakan seragam sekolah.
Hanya ada aku dan bapak di rumah. Sejak peristiwa itu aku memang jarang bicara
dengan beliau. Bapak menutup pintu, menguncinya. Lalu memperhatikan
gerak-gerikku. Perasaan takut kembali ku rasakan. Gelagat mencurigakan bapak
mulai ku cium, aku gemetar, memeluk handuk di sudut ruangan. Bapak berubah
lagi. Menerkamku dalam kerumunan nafsunya. Naluri hewaninya menelan nuraninya
sebagai bapak. Aku melawan sekuat tenaga. Menendang perut cekingnya dengan
kakiku, tapi usahaku sia-sia. Dia lebih
kuat. Tubuhku dibolak-balik. Dia membenamkan aku ke dalam laut kejinya yang
busuk. Torehan tinta hitam kemarin, kian mendalam.
Tuhan, sebaiknya akhiri saja hidupku.
Tubuhku tak lagi berasa ada. Aliran darah ini tersendat. Jantungku enggan
berdetak. Luluh sudah segala asa yang ku gantungkan pada langit impian. Aku tidak
akan pernah bisa mengobati ibu dan segenap balada sakitku. Aku terlalu lemah
untuk ujian seberat ini, Ya Rabb. Selama ini aku tidak pernah menyesali
takdirMu yang menetapkanku untuk lahir dalam syurga kemiskinan ini. Aku tak
menyalahkan itu. Bagiku ini tetap kekayaan dari Mu. Maafkan bapak Ya Allah,
yang harus mengikuti rayuan syeitan
karena tidak mampu bertarung melawan dirinya sendiri. Terima kasih pak, dengan
cepat bapak mengantarkanku meraih mimpi, menggunakan baju putih polos. Aku siap
jika harus menggunakan baju itu, meski dengan bahan berbeda dari yang ku
cita-citakan.
Aku
tau, disampingku ada ibu yang kemarin tergopoh-gopoh memboyongku ke rumah
sakit. Ingin aku berteriak agar ibu tak membawaku ke sini. Tapi sakit itu
membungkam mulutku. Aku meraih tangan kasar ibu yang kali ini terasa begitu
lembut. Ku cium dengan penuh takzim, seperti yang biasa ku lakukan saat aku
akan melangkah menuju tempat mengukir impian. Tangisan beliau terngiang beriringan
dengan aliran sungai syurga di pelupuk mataku.
“Aku
rindu ibu. Ada hal yang ingin ku ceritakan saat ibu tidak bersamaku. Bapak,
bu. Ahh... itu Malaikat Izrail, dia
menjemputku. Aku masih ingin berlama-lama disamping ibu. Dia menarik ruhku, Bu.
Sakiit. Bu, ibu.. tolong aku.”
***
Cerita
pendek berjudul “Ibu, Tolong Aku” ini terinspirasi dari kisah nyata yang pernah
terjadi. Sebuah kasus pemerkosaan berujung maut yang menyayat
hati, dikakukan oleh ayah kepada anak kandungnya sendiri, RI, di kawasan Rawa Bebek, Jakarta Timur. Semoga
karya saya bermanfaat.